لَا تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى
تُسْتَأْمَرَ وَلَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ قَالُوا يَا
رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ إِذْنُهَا قَالَ أَنْ تَسْكُتَ
“Tidak boleh menikahkan seorang
janda sebelum dimusyawarahkan dengannya dan tidak boleh menikahkan
anak gadis (perawan) sebelum meminta izin darinya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mengetahui izinnya?” Beliau menjawab, “Dengan ia diam.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 1419)
anak gadis (perawan) sebelum meminta izin darinya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mengetahui izinnya?” Beliau menjawab, “Dengan ia diam.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 1419)
Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma
bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا
مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ يَسْتَأْذِنُهَا أَبُوهَا فِي نَفْسِهَا
وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا
“Seorang janda lebih berhak atas
dirinya daripada walinya, sedangkan perawan maka ayahnya harus meminta
persetujuan dari dirinya. Dan persetujuannya adalah diamnya.” (HR. Muslim no.
1421)
Dari Khansa’ binti Khidzam
Al-Anshariyah radhiallahu anha:
أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ
ثَيِّبٌ فَكَرِهَتْ ذَلِكَ فَأَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَرَدَّ نِكَاحَهَا
“Bahwa ayahnya pernah menikahkan dia
-ketika itu dia janda- dengan laki-laki yang tidak disukainya. Maka dia datang
menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (untuk mengadu) maka Nabi shallallahu
alaihi wasallam membatalkan pernikahannya.” (HR. Al-Bukhari no. 5138)
Al-Bukhari memberikan judul bab
terhadap hadits ini, “Bab: Jika seorang lelaki menikahkan putrinya sementara
dia tidak senang, maka nikahnya tertolak (tidak sah).”
Penjelasan ringkas:
Di antara kemuliaan yang Allah
Ta’ala berikan kepada kaum wanita setelah datang Islam adalah bahwa mereka
mempunyai hak penuh dalam menerima atau menolak suatu lamaran atau pernikahan,
yang mana hak ini dulunya tidak dimiliki oleh kaum wanita di zaman jahiliah.
Karenanya tidak boleh bagi wali wanita manapun untuk memaksa wanita yang dia
walikan untuk menikahi lelaki yang wanita itu tidak senangi.
Karena menikahkan dia dengan lelaki
yang tidak dia senangi berarti menimpakan kepadanya kemudharatan baik mudharat
duniawiah maupun mudharat diniah (keagamaan). Dan sungguh Nabi shallallahu
alaihi wasallam telah membatalkan pernikahan yang dipaksakan dan pembatalan ini
menunjukkan tidak sahnya, karena di antara syarat sahnya pernikahan adalah
adanya keridhaan dari kedua calon mempelai.
Akan tetapi larangan memaksa ini
bukan berarti si wali tidak punya andil sama sekali dalam pemilihan calon suami
wanita yang dia walikan. Karena bagaimanapun juga si wali biasanya lebih
pengalaman dan lebih dewasa daripada wanita tersebut. Karenanya si wali
disyariatkan untuk menyarankan saran-saran yang baik lalu meminta pendapat dan
izin dari wanita yang bersangkutan sebelum menikahkannya. Tanda izin dari
wanita yang sudah janda adalah dengan dia mengucapkannya, sementara tanda izin
dari wanita yang masih perawan cukup dengan diamnya dia, karena biasanya
perawan malu untuk mengungkapkan keinginannya.
(http://al-atsariyyah.com/haramnya-nikah-ala-siti-nurbaya.html)
Berikut beberapa fatwa ulama seputar
permasalahan ini.
Perbuatan Seorang Ayah Memaksa
Putrinya untuk Menikah adalah Haram
Fadhilah Asy-Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah ditanya:
Saya memiliki saudara perempuan
seayah, kemudian ayah saya menikahkannya dengan laki-laki tanpa keridhaannya
dan tanpa meminta pertimbangan kepadanya, padahal dia telah berumur 21 tahun.
Ayah saya telah mendatangkan saksi palsu atas akad nikahnya, bahwa dia (saudari
saya) menyetujui akan hal tersebut. Dan ibunya ikut terjerumus menjadi
pengganti dia dalam mengadakan akad. Demikianlah, akad pun selesai dalam
keadaan saudari saya senantiasa meninggalkan suaminya tersebut. Apa hukum akad
nikad itu dan persaksian palsu tersebut?
Maka beliau rahimahullah menjawab:
Saudari perempuan tersebut, apabila
dia masih gadis dan dipaksa oleh ayahnya untuk menikah dengam laki-laki
tersebut, sebagian ahlul ilmi berpendapat sahnya nikah tersebut. Dan mereka
memandang bahwa sang ayah berhak untuk memaksa putrinya untuk menikah dengan
laki-laki yang tidak disenangi putrinya apabila laki-laki tersebut sekufu’ [1]
dengannya. Akan tetapi pendapat yang rajih (kuat) dalam masalah ini, bahwasanya
tidak halal bagi sang ayah atau selainnya memaksa anak yang masih gadis untuk
menikah dengan laki-laki yang tidak disukainya, meskipun sekufu’. Sebab Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Wanita gadis tidak boleh dinikahkan
hingga dimintai izinnya.”
Ini umum, tidak ada seorang wali pun
yang dikecualikan darinya. Bahkan telah warid dalam “Shahih Muslim”:
“Wanita gadis, ayahnya harus minta
izin kepadanya.”
Hadits ini memberikan nash atas
wanita gadis dan nash atas ayahnya. Nash ini, apabila terjadi perselisihan
(antara ayah dan putrinya), maka wajib untuk kembali kepada nash ini.
Berdasarkan hal ini, maka perbuatan seseorang memaksa putrinya untuk menikah dengan
laki-laki yang tidak disukainya adalah perbuatan haram. Sedang sesuatu yang
haram tidak sah dan tidak pula berlaku. Sebab pemberlakuan dan pengesahannya
bertentangan dengan larangan yang warid dalam masalah ini. Dan apa saja yang
dilarang syariat ini maka sesungguhnya menginginkan dari umat ini agar tidak
mengaburkan dan melakukannya. Kalau kita mengesahkan pernikahan tersebut,
maknanya kita telah mengaburkan dan melakukan larangan tersebut serta
menjadikam akad tersebut sama dengan akad nikah yang diperbolehkan oleh Pembuat
syariat ini. Ini adalah suatu perkara yang tidak boleh terjadi. Maka
berdasarkan pendapat yang rajih ini, perbuatan ayah anda menikahkan putrinya
tersebut dengan laki-laki yang tidak disukainya adalah pernikahan yang fasid
(rusak), wajib untuk mengkaji ulang akad tersebut di hadapan pihak mahkamah.
Adapun bagi saksi palsu, maka dia
telah melakukan dosa besar sebagaimana tsabit dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau bersabda:
“Maukah aku kabarkan kepada kalian
tentang dosa besar yang paling besar?”
Kemudian beliau pun menyebutkannya
dan pada waktu itu beliau bersandar kemudian duduk dan mengatakan:
“Maukah aku kabarkan kepada kalian
tentang dosa besar yang paling besar? Maka kami (para shahabat) menjawab: “Tentu
ya Rasulullah!” Beliau bersabda: “Menyekutukan Allah Azza wa Jalla dan durhaka
kepada orang tua.” Pada waktu itu beliau bersandar kemudian duduk seraya
mengatakan: “Ingatlah, dan perkataan dusta, ingatlah, dan perkataan dusta,
ingatlah, dan persaksian palsu…!” Beliau terus mengulanginya hingga para
shahabat mengatakan, “Semoga beliau diam”.
Mereka adalah orang-orang yang telah
melakukan persaksian palsu. Wajib bagi mereka untuk bertaubat kepada Allah Azza
wa Jalla dan mengatakan perkataan yang haq (benar), dan hendaknya dia
menjelaskan kepada hakim yang resmi bahwa mereka telah melakukan persaksian
palsu dan bahwasanya mereka mencabut kembali persaksian tersebut. Demikian juga
si ibu, yang mana dia telah terjerumus menggantikan putrinya dengan dusta, dia
telah berdosa dengan perbuatan tersebut dan wajib baginya untuk bertaubat
kepada Allah Azza wa Jalla dan tidak melakukan kembali perbuatan yang
semisalnya. [Fatawa Al-Mar'ah]
Tidak Boleh Seorang Ayah Memaksa
Putranya untuk Menikah dengan Wanita yang Tidak Disenanginya
Fadhilah Asy-Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-’Utsaimin juga ditanya:
Apa hukumnya jika seorang ayah ingin
menikahkan putranya dengan wanita yang bukan shalihah? Dan apa hukumnya apabila
dia tidak mau menikahkannya dengan wanita yang shalihah?
Maka beliau rahimahullah pun memberi
jawaban:
Tidak boleh seoramg ayah memaksa
putranya untuk menikahi wanita yang tidak disukainya, baik dikarenakan aib yang
ada pada wanita tersebut berupa aib dien, tubuhnya atau akhlaknya. Betapa
banyak orang-orang yang menyesal ketika memaksa anak-anaknya untuk menikah
dengan wanita-wanita yang tidak disukainya. Akan tetapi, dia mengatakan:
“Nikahilah dia, sebab dia itu anak saudaraku atau karena dia itu dari
kabilahmu” dan alasan yang lainnya. Maka tidak mengharuskan bagi si anak untuk
menerimanya dan tidak boleh bagi orang tua untuk memaksa putranya agar menikahi
wanita tersebut. Demikian juga, kalau seandainya si anak ingin menikah dengan
wanita yang shalihah, kemudian sang ayah menghalang-halanginya, maka hal itu
tidak mengharuskan bagi si anak untuk mentaatinya, apabila si anak memang
senang dengan wanita shalihah tersebut dan ayahnya mengatakan, “Kamu tidak
boleh nikah dengannya!” maka boleh baginya untuk menikah dengan wanita tersebut
walaupun dihalang-halangi oleh ayahnya. Sebab seorang anak tidak harus taat
kepada ayahnya dalam perkara yang tidak membahayakan ayahnya, bahkan justru
bermanfaat bagi ayahnya. Kalau kita katakan bahwasanya wajib bagi seorang anak
menaati orang tuanya dalam segala sesuatu hingga dalam permasalahan yang di
dalamnya terdapat manfaat bagi si anak dan tidak membahayakan ayahnya, niscaya
akan timbul berbagai kerusakan. Akan tetapi dalam keadaan seperti ini,
hendaknya seorang anak bersikap luwes terhadap ayahnya, lemah lembut dalam
memahamkannya dan semampunya berusaha agar ayahnya merasa lega. [Durus wa
Fatawa Al-Haram Al-Makky, jilid 3 hal. 224]
Hukum Nikah Paksa bagi Janda
Samahatusy Syaikh Muhammad bin
Ibrahim ditanya tentang hukum seorang anak perempuan yang dinikahkan ayahnya
tanpa ada ridha darinya, di mana ketika itu ia telah menjanda, ia telah menikah
sebelumnya dengan seorang pria.
Jawaban:
Apabila kondisinya sebagaimana yang
anda gambarkan maka nikahnya yang terakhir adalah tidak sah. Karena termasuk
syarat-syarat pernikahan adalah adanya ridha dari kedua pasangan (suami-istri).
Seorang janda tidak boleh dipaksa oleh ayahnya apabila ia telah berumur lebih
dari 9 tahun (para ulama dalam hal ini pendapatnya sama). [Fatawa wa Rasail
Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim jilid 10 hal. 80]
Hukum Seorang Janda yang Dipaksa
Menikah oleh Ayahnya
Samahatusy Syaikh Muhammad bin
Ibrahim ditanya tentang hukum seorang janda yang dipaksa ayahnya untuk menikah.
Jawaban:
Khusus pernikahan seorang wanita
dengan lelaki putra pamannya, sementara ia dipaksa oleh ayahnya untuk menikah
dengan lelaki itu dalam kondisi sebagai seorang janda yang baligh, sehat
akalnya dan kesadarannya. Sekarang pernikahan dengan putra pamannya itu telah
berjalam selama 10 tahun dalam keadaan suaminya belum pernah menggaulinya. Ia
tidak pernah merasa ridha kepada lelaki itu dan sekarang keadaannya semakin
buruk. Ia selalu mendesak lelaki itu untuk memutus ikatan pernikahannya.
Kami simpulkan untuk anda, di mana
telah jelas di hadapan anda adanya unsur paksaan dari ayah sang wanita untuk melakukan
pernikahan dengan putra pamannya. Sedangkan kondisi ketika itu ia seorang janda
yang baligh dan berakal sehat, maka pernikahannya itu adalah tidak sah. Karena
termasuk syarat sahnya sebuah pernikahan adalah adanya keridhaan dari calon
pasangan suami-istri. Bila keduanya tidak ridha atau salah satunya tidak ridha
maka pernikahannya tidak sah.
Di dalam pemaksaan seorang ayah
kepada anak-anaknya yang masih di bawah umur dan kepada anak-anaknya yang
terganggu akalnya (abnormal), juga kepada anak yang masih gadis (bukan janda)
untuk melakukan pernikahan, maka dalam hal ini ada dua pendapat.
Sedangkan bagi janda yang telah
baligh dan berakal sehat, maka tidak ada khilaf (perselisihan ulama) bahwa sang
ayah tidak berhak untuk memaksamya dan ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Karena telah diriwayatkan bahwa Al-Khansa bintu Haram Al-Anshariyyah
meriwayatkan bahwa ayahnya pernah memaksa ia untuk menikah sementara ia dalam
keadaan menjanda. Ia menolaknya dan kemudian mendatangi Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam selanjutnya beliau membatalkan pernikahannya. [Fatawa wa
Rasail Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim jilid 10 hal. 85-86]
Seorang Anak Perempuan Dinikahkan
oleh Ayahnya ketika Masih di Bawah Umur dan ketika Dewasa Ia Merasa Tidak Ridha
Samahatusy Syaikh Muhammad bin
Ibrahim ditanya tentang hukum seorang anak perempuan yang diserahkan oleh
ayahnya kepada seorang lelaki untuk dinikahi, sementara usianya masih kecil,
lalu sang ayah meninggal dunia.
Setelah anak perempuan itu baligh,
ia menolak penyerahan dirinya yang dilakukan ayahnya dulu, dan ia merasa tidak
ridha kepada lelaki (suaminya) itu yang dulu ayahnya telah menyerahkan dirinya
kepadanya.
Jawaban:
Apabila keadaannya adalah
sebagaimana yang disebutkan, maka tidaklah perbuatan penyerahan yang dimaksud
sebagai cara menikahkan yang sah, tidak pula wanita itu dianggap sebagai istri
bagi pria tersebut hanya dengan sekedar melakukan apa yang anda sebutkan itu,
karena tidak lengkapnya syarat-syarat dari akad nikah yang sah. [Fatawa wa
Rasail Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim jilid 10 hal. 78.
Hukum Menikahkan Seorang Perempuan
Yatim tanpa Seijinnya?
Fadhilatusy Syaikh Abdurrahman
As-Sa'di ditanya:
Apakah boleh menikahkan seorang anak
perempuan yatim tanpa seijinnya?
Jawaban:
Seorang perempuan yatim tidak
dibenarkan untuk dinikahkan oleh saudara laki-lakinya kecuali dengan
persetujuannya. Dan bentuk persetujuan seorang janda adalah dengan ucapan lisan
dan ijinnya, sedangkan persetujuan dari seorang gadis bisa dengan ucapan
lisannya bisa pula dengan sikap diamnya sepanjang ia tidak mengucapkan kata
"tidak".
Bila ibunya, bibinya (dari jalur
ibu), atau saudara perempuannya mengatakan bahwa ia ridha sebelum ia
mengatakannya sendiri, maka tidak perlu ada persaksian (pernyataan) langsung
atas persetujuannya. Kecuali bila dikhawatirkan bahwa saudara laki-lakinya atau
walinya ingin memaksanya untuk melakukan pernikahan, maka harus ada persaksian
(pernyataan) langsung atas persetujuannya. [Al-Majmu'ah Al-Kamilah li Muallafat
Asy-Syaikh As-Sa'di hal. 349/7]
Menikahkan Seorang Anak Perempuan
dengan Lelaki yang tidak disukainya
Fadhilatusy Syaikh Abdurrahman
As-Sa’di ditanya:
Apakah boleh memaksa seorang anak
perempuan untuk menikah dengan lelaki yang tidak disukainya?
Jawaban:
Tidak boleh bagi ayah perempuan itu
untuk memaksa dan tidak boleh pula bagi ibunya untuk memaksa anak perempuan itu
menikah, meski keduanya ridha dengam keadaan agama dari lelaki tersebut.
[Al-Majmu'ah Al-Kamilah li Muallafat Asy-Syaikh As-Sa'di hal. 349/7]
Wallahu a’lam bish-shawab.
Footnote:
[1] Lihat pengertian kufu di Batasan Kufu dalam Nikah
Referensi:
1. Bingkisan ‘tuk Kedua Mempelai
karya Abu ‘Abdirrahman Sayyid bin ‘Abdirrahman Ash-Shubaihi (alih bahasa: Abu
Hudzaifah), penerbit: Maktabah Al-Ghuroba’, hal. 451-456.
2. Fatwa-fatwa Ulama Ahlus Sunnah
Seputar Pernikahan, Hubungan Suami Istri dan Perceraian disusun oleh Amin bin
Yahya Ad-Duwaisi (penerjemah: Abu Abdirrahman Muhammad bin Munir), penerbit:
Qaulan Karima, hal. 23-28.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar